14 Juli, 2009

TARI AJAT TEMUAI DATAI

“Ajat Temuai Datai” diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic Group), yang tidak dapat diartikan secara lansung, karna terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya adalah Tari menyambut tamu, bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan / masa Rata Penuhlampau, diantara kelompok-kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me – ngayau, yang berarti musuh (bahasa Dayak Iban). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan menang dan membawa bukti perang berupa kepala manusia, merupakan tamu yang agung serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih !, sebanyak tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar mempersiapkan acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui tiga babak yakni: Ngiring Temuai (mengiringi tamu ataupun memandu tamu) sampai kedepan Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan tari Ajat (penyambutan). Kemudian kepala suku mengunsai beras kuning (menghamburkan beras yang dicampur kunir / beras kuning) dan membacakan pesan atau mantera sebagai syarat mengundang Senggalang burong (burung keramat / burung petuah penyampai pesan kepada Petara atau Tuhannya). Babak yang kedua yakni mancung buloh (menebaskan mandau atau parang guna memutuskan bambu), berarti bambu sengaja dibentangkan menutupi jalan masuk ke rumah panjai dan para tamu harus menebaskan mandaunya untuk memutuskan bambu tersebut sebagai simbol bebas dari rintangan yang menghalangi perjalanan tamu itu. Babak yang ketiga adalah Nijak batu (menginjakkan tumitnya menyentuh sebuah batu yang direndam didalam air yang telah dipersiapkan), sebagai simbol kuatnya tekad dan tinginya martabat tamu itu sebagai seorang pahlawan yang disegani. Air pada rendaman batu tersebut diteteskan pada kepala tamu itu sebagai simbol keras dan kuatnya semangat dari batu itu diteladani oleh pahlawan atau tamu yang disambut. Babak keempat yakni Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai), setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Burung (mengembalikan semangat perang / mengusir roh jahat).


PEMBAGIAN CIRI TARI

Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 5 besar yakni:

  1. Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.
  2. Ribunic / Jangkang Grop : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas,
  3. Dayak Mali, Tobakng Benua sampai Balai Bekuak Kabupaten Ketapang dan sekitarnya.
  4. Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam.
  5. Tamanic Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.
Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak di Kabupaten Ketapang, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.

Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: Linoh, Nyangai, Ot Danum ( masuk kelompok kal-teng), Leboyan dsb.

ASAL USUL DAYAK

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.

Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.

Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.

Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.

Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.

masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.

adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.

Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.



01 Juli, 2009

RATU BERINGKAK

Suatu hari ada salah seorang keturunan dari Abang Bari (selimbau) menghanyutkan diri mengikuti sungai Kapuas sampai ke Nanga Belitang. Ia bernama bernama Ratu Beringkak, seorang gadis. Saat ditolong oleh masyarakat Mualang, ia menceritakan asal usul purihnya (keturunannya) dan setelah di susun keturunannya, gadis tersebut dianggap sebagai Bangsa Masuka / Suka ( tingkat golongan tinggi atau Purih Raja ), hingga tiada satupun masyarakat lain yang berani mengawininya. Pada saat itu masyarakat Mualang dipimpin oleh Temenggung Saman Tangik, kemudian orang Mualang membawa Ratu Beringkak, ke hulu sungai Belitang, memperkenalkannya kepada seorang pedagang yang menjadi tokoh bagi masyarakat Melayu belitang yang bernama Meriju, oleh Meridju, Ratu Beringkak dijodohkan kepada seorang Mualang, dari Bangsa Masuka / Suka. Setelah pernikahan selesai, Meriju diberi gelar oleh masyarakat Mualang sebagai Kiayi, yakni; Kiyai Madju. Karena statifikasi sosial Dayak Mualang merupakan Bangsa Masuka / Suka dan lebih tinggi dibandingkan dengan suku Dayak maupun Senganan, ataupun suku melayu pedagang yang datang di Belitang maupun di Sekadau, maka orang Mualang tidak mau tunduk kepada peraturan dan perjanjian apapun, demikian juga terhadap Kiayi Madju sekalipun, atas jasanya menikahkan Ratu Beringkak.

Hal ini memicu kemarahan Kiayi madju yang akhirnya memobilisasi orang – orang Melayu untuk menyerang Dayak Mualang yang berada dihulu sungai Merian. Dalam peperangan tersebut, orang-orang Melayu dapat dikalahkan, dan dikejar hingga tercerai-berai, sebagian lari hingga ke sungai Mengkiyang Sanggau, sisanya menetap di sekitar Belitang. Orang-orang melayu masih belum puas, mereka mendatangkan empat orang kuat Melayu pada waktu itu disebut Panglima. Terhadap orang – orang Melayu yang tersisa beserta panglimanya tersebut, yang tidak mau pergi, akhirnya Dayak Mualang daerah Belitang, mengundang Dayak Mualang keturunan dari Tampun Juah di Kaki bukit rambat yang bernama; Macan singkuh. Karena Macan Singkut telah tua, maka ia mengutus anaknya yang bernama Singa Uda Letnan, untuk menghadapi sisa –sisa orang Melayu beserta panglimanya. Pertarungan antar orang kuat terjadi yakni empat orang Panglima Melayu melawan seorang Manok Sabung Mualang. Pertarungan ini dilakukan secara sportif. Akhirnya ke empat orang Panglima Melayu tersebut dapat dikalahkan, maka Kiyai Madju dan seluruh orang Melayu dan Panglimanya pergi dan pindah dari daerah Mualang ke Nanga Jungkit, dalam perpindahan tersebut Ratu beringkak ikut serta dan di Nanga Jungkit ia meninggal dunia, tetapi sebelumnya ia minta dikubur di Nanga Ansar. Sampai saat ini Nanga Jungkit dan Nanga Ansar dianggap sebagai tempat keramat.

DAERAH PENYEBARAN DAYAK MUALANG

Daerah penyebaran Dayak Mualang, setelah Sekadau juga berkembang kedaerah Belitang dan sekitarnya dan telah banyak menurun Raja-Raja Belitang. Hal ini diawali oleh seorang gadis / Dara Mualang yang lari melewati hutan karena takut akan hukuman kakeknya terhadap pusaka yang dibekalkan padanya yakni sebuah keris telah hilang.

Berikut ceritanya; Pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan di hutan, gadis Mualang tersebut melihat seekor babi besar, karena terkejut dan membela diri, dengan cepat ia menikam babi tersebut dengan keris pusaka kakeknya, kemudian saking kuatnya tusukan itu, menyebabkan terlepasnya ganggang keris, hingga mata keris dibawa babi tersebut lari, oleh sebab itu ia sangat ketakutan pulang kerumah dan melarikan diri sekalian berusaha mencari keris pusaka kakeknya, hingga sampai kehulu kapuas. Dara tersebut bernama Dayang Imbok Benang, keturunan kesekak Busong. Dalam perjalanannya menyusuri hutan, ia ditemukan oleh Demong Rui, Raja dari Nanga Embaloh, kemudian diambil sebagai istri oleh Demong Rui. Selanjutnya Dayang Imbok Benang tersebut melahirkan dua orang anak, yang pertama / tua bernama: Kerandang Ari, yang ke dua / muda bernama: Abang bari.

Suatu ketika keduanya pulang untuk mencari tanah kelahiran ibu mereka yakni ke daerah Belitang, ulun (hamba) yang dibawanya meninggal dunia di sana, hamba tersebut bernama Belitang. Dulunya sungai Belitang adalah sungai Perupuk, karena ulun yang bernama Belitang tersebut meninggal maka sungai tersebut dinamakan sungai Belitang, dan daerah sekitarnya disebut daerah Belitang. Kerandang ari pulang ke Belitang bergabung dengan keturunan ibunya, menjadi bagian dari masyarakat Mualang. Sedangkan adiknya Abang Bari mengikuti ayahnya meneruskan pemerintahan Raja-Raja di Selimbau dan keturunannya merantau ke Belitang untuk meneruskan pemerintahan Raja – Raja Belitang.

KERAJAAN SEKADAU

Kerajaan Sekadau sendiri pernah diperintah berturut – turut oleh Keturunan Prabu Jaya dan keturunan Raja-Raja Siak Bulun / Bahulun dari sungai Keriau, Kabupaten Ketapang. Adapun Raja Sekadau pertama adalah pangeran Engkong, yang menpunyai tiga orang putra :

  1. Pangeran Agong
  2. Pangeran Kadar
  3. Pangeran Senarong

Sesudah Pangeran Engkong (Raja Sekadau) wafat, beliau digantikan oleh Pangeran Kadar, sedangkan Pangeran Senarong, yang meneruskan keturunan Raja-Raja Belitang. Sedangkan Pangeran Agong memilih mengasingkan diri beserta pengikutnya ke tempat yang kini disebut dengan Lawang Kuwari. (Betang Panjang yang menghilang dan hingga kini tempat ini dianggap keramat ).

Kerajaan Sekadau mulai memeluk agama Islam setelah Pangeran Kadar Wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Suma, beliau mendalami agama Islam di Mempawah. Dayak Kematu yang merupakan gabungan dari pecahan rombongan Dara Nante dan Dayak Mualang di sekitar Sekadau, adalah yang pertama memeluk agama Islam di daerah Sekadau, selanjutnya berangsur-angsur diikuti beberapa suku Dayak lainnya. mereka kemudian menyebut dirinya dengan sebutan; Senganan ( keturunan Dayak yang memeluk agama Islam). Perkembangan agama Islam di kerajaan Sekadau semakin pesat, maka pindahlah pusat kerajaan Sekadau ke sungai bara dan disitu didirikan sebuah Mesjid Besar.7

PATIH BANGI

Sedangkan Rombongan yang dipimpin oleh Patih Bangi menyusuri hulu sungai ke daerah yang disebut Belitang membaur kemudian disebut sebagai Dayak Mualang dan menyebar ke sekitarnya. Dayak Mualang di daerah Belitang inilah yang banyak menurunkan Raja –Raja Sekadau, dan Raja Belitang. Kerajaan kecil tersebut lambat laun pindah ke Sekadau.

MUALANG TANJUNG

6 Rombongan Dayak Mualang yang menyebar ke Sekadau ada yang terpecah membentuk kelompok baru; Mualang Tanjung, dan berbaur dengan kelompok lainnya Dayak Seberuang, Dayak Desa, Ketungau sesat dan sebagainya. Sebagian bercampur pula dengan rombongan kelompok Dara Nante dalam usahanya mencari Babai Cinga (suami Dara Nante). Rombongan tersebut dipimpin oleh Singa Patih Bardat dan Patih Bangi. mereka tersesat ketika menyebar mencari daerah yang disebut Tampun Juah. Rombongan Singa Patih Bardat bercampur dengan Dayak Mualang, menurunkan suku -suku kecil yakni: Dayak Kematu”, Dayak Benawas, Dayak Mualang Sekadau di daerah Lawang Kuari (Lawang Kuari, adalah Betang yang dikutuk melebur menjadi batu karena sebuah peristiwa).

25 Juni, 2009

DAYAK LEBANG NADO

Dari turunan Putong kempat terjadilah pembauran yang melahirkan bangsa / suku yang membaur dan menyebar, berkembang hingga kini. Keturunan tersebut adalah Dara Juanti kawin dengan Patih logender. Sebagai bukti hantaran dari pihak Patih logender, maka dibawalah dua belas orang parinduk atau bukti hantaran, kemudian kedua belas orang ini membentuk komunitas disekitar Bukit kelam dan lambat laun menjadi komunitas Dayak Lebang Nado. Percampuran dari keturunan Dayak Mualang, Melayu hindu dan Jawa hindu.


Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

GUYAU TEMENGGUNG BUDI

Rombongan Mualang pimpinan Guyau Temenggung Budi kemudian berbaur dengan masyarakat Tanah tabo” selanjutnya mereka disebut dengan nama Dayak Mualang. Mereka menyebar ke Sekadau, seluruh Belitang, dan sebagian ke Sepauk, Kabupaten Sintang. Anak - Anak Ambun Menurun dan Pukat Mengawang lainnya juga menyebar mengikuti kehidupan masing – masing dan ada yang membentuk kelompok suku – suku serumpun lainnya. Salah satu anak dari Ambun Menurun dan Pukat Mengawang yaitu: Putong Kempat, kawin dengan Aji Melayu ( berasal dari Semenanjung, di masa kepercayaan hindu, sebelum masuknya Islam, hal ini diperkuat dengan kubur dan bukti peninggalan lainnya di Sepauk Kabupaten Sintang ). Demikianlah urutan silsilah perkawinan Putong kempat dengan Aji Melayu.

  1. Putong kempat ( Dayak Mualang dengan Aji Melayu ( sepauk ) Anaknya yang bernama
  2. Dayang lengkong kawin dengan Patih Selatong menurunkan
  3. Dayang Randung, kawin dengan Adipati Selatung, menurunkan
  4. Abang Panjang, kawin, menurunkan
  5. Demong Karang kawin, menurunkan
  6. Demong kara (Raja keenam kerajaan Sepauk), kawin, menurunkan
  7. Demang Minyak, kawin (Raja Kedelapan kerajaan Sepauk) menurunkan
  8. Demong Irawan, bergelar Jubair I. Kawin, menurunkan
  9. Dara Juanti (Raja kesembilan th.1385)
  10. Dara juanti kawin dengan Patih Logender dari Jawa masyarakat Kerajaan Majapahit (hindu). (buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. 1975, hal.197)

Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

PENDUDUK TANAH TABO'

Penduduk di Tanah Tabo’ merupakan keturunan dari keseka” Busong. Keseka” Busong kawin dengan Dara jantung, anak Petara Seniba (Dewa di khayangan), Dara jantung dihulurkan oleh Petara Seniba (ayahnya) menggunakan tali Tabo”Tengang (akar kayu) Bekarong Betung ( diselimuti bamboo betung ) anak dari keseka” Busong dan Dara jantung adalah Bujang Panjang, yang kawin mali ( terlarang ) dengan Dayang Kaman Dara Remia ( bibinya atau adik ibunya) di khayangan yang menyebabkan kakeknya (Petara Seniba) murka, dan mengusir bujang panjang kebumi tempat ayahnya berada yakni keseka” Busong. Anak hasil kawin mali mereka, menjadi berbagai macam hama padi dan lolos menyebar kebumi.


Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

ORANG BUAH KANA

Di masa itu kehidupan manusia dan para Dewa serta mahluk halus, sama seperti hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, termasuklah hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara masyarakat Tampun Juah dengan Orang Buah Kana ( Dewa pujaan ). Karena kejayaan masyarakat Tampun Juah sangat terkenal dan didengar oleh segala bangsa dan beberapa kerajaan, di suatu ketika sampailah berita itu ke kerajaan Sukadana (terletak di Kabupaten Ketapang). Kerajaan Sukadana merasa kuatir mendengar kejayaan dan semakin kuatnya persatuan masyarakat di Tampun Juah. Hal ini mendapat tanggapan yang negatif dan ditindak lanjuti dengan menyatakan perang terhadap Masyarakat Pangau Banyau / Sak Menua, yang lambat-laun menyebabkan Tampun Juah diserang oleh kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadana saat itu merupakan koloni dari Kerajaan Majapahit ( jawa hindu ), mereka mempunyai bala tentara yang tangguh dan sakti dari suku Dayak Beaju”/ Miajuk, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Mereka mengadakan ekspansi militer dari daerah Labai lawai ( sekarang Tamabak Rawang) Sukadana, masuk dan menyusuri sungai kapuas sampai ke teluk air daerah batu ampar menuju Tayan Sanggau, dan masuk sungai Sekayam dan terus ke hulunya, mengadakan penyerangan ke Tampun Juah. Dalam peperangan ini laskar dari Tampun Juah dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan musuh dalam membela kedamaian di Tampun Juah, hingga menyebabkan musuh kalah dan dapat di usir. Perang yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit, karena pada perang ini pasukan Tampun Juah dan pasukan lawan menggunakan sumpit yang pelurunya sangat beracun diberi ipuh (racun dari pohon tertentu).

Tampun Juah kembali aman dan damai, tetapi tidak berlansung lama karena pihak musuh yang kalah mengajak (melalui kesaktiannya) dan mempengaruhi bangsa mahluk halus ( Setan ) secara magis, menyerang Tampun Juah. Perang kedua tak bisa dihindarkan, dengan semangat yang membara masyarakat Pangau banyau, berusaha mati-matian mempertahankan wilayahnya dari serangan mahluk halus, dan akhirnya dalam peperangan ini bangsa setan dapat juga dikalahkan.

Tampun Juah untuk sementara waktu berangsur damai ternyata pihak musuh yang kalah berperang, masih belum puas, mereka berusaha menggunakan segala cara, dan dengan kesaktian yang mereka miliki, mereka mempengaruhi bangsa binatang agar menyerang Tampun Juah. Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi, sama halnya dengan peperangan terdahulunya, bangsa binatang juga dapat dikalahkan. Karena masih kurang puas maka musuh pun mencari cara yang lain lagi yakni, dengan menanam berbagai jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat Tampun Juah, Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Tampun Juah yang keracunan, tetapi keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan lainnya. Setelah sembuh racun kulat itu ternyata berdampak pada perubahan intonasi bahasa, logat dan pengucapan bahasa komunikasi yang menjadi bahasa keseharian. Hal ini menyebabkan timbulnya kelompok- kelompok bahasa yang berbeda logat maupun pengucapan ( ingat menara babel dalam perjanjian lama kitab suci umat kristiani ) walaupun masih dimengerti / serumpun. ( Ibanic Group ).

Melihat perpecahan bahasa tersebut, pihak musuh memandang hal ini merupakan suatu celah kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk mengalahkan masyarakat Tampun Juah. Pihak musuh tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan Tampun Juah tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori Tampun Juah. Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat Tampun Juah menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh bangsa setan, sekali lagi mereka mengirimkan sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan Tahi. Karena terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya masyarakat Tampun Juah strees, panik dan tidak tahan lagi, menyebabkan gemparlah Tampun Juah.

Menyikapi hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (musyawarah) dilakukan dan dari hasil pekat, (musyawarah ) diambilah keputusan untuk meninggalkan Tampun Juah secara berangsur -angsur. Proses keberangkatan dipimpin oleh masing – masing temenggung dan yang berangkat dahulu, harus membuat lujok (tunggul kayu) atau tanda pada setiap tempat yang dijalani kelompoknya, agar diikuti oleh kelompok belakangnya dengan perjanjian: “jika kelak menemukan tempat yang subur, enak dan cocok nanti, mereka berkumpul lagi dan membina kehidupan seperti masa di Tampun Juah.3 Setelah selesai bepekat (musyawarah) maka diputuskanlah siapa yang berangkat terlebih dahulu. Orang Buah Kana (Dewa Pujaan), kembali ke khayangan, selanjutnya kelompok pertama masyarakat Pangau Banyau yang berangkat adalah:

  1. Kelompok yang kini di sebut Dayak Batang Lupar / Iban, berangkat menyusuri sungai sai, tembus ke muara sungai ketungau sampai ke Batang Lupar, Kapuas hulu. ( kisah ini dituturkan sama dan diakui oleh kelompok Dayak Iban dari Sadong, Serawak, Malaysia). Dalam pengembaraannya, dan sesudah sampai di Batang Lupar, kelompok ini kemudian terpecah dan membentuk kelompok – kelompok atau sub- sub Ibanic ( Kantuk, Undup, Gaat, Saribas, Sebuyau, Sebaruk, Skrang, Balau ) dan lain-lain yang juga menyebar dan mencari tanah dan kehidupan baru.
  2. Kelompok Ketungau. Menyusuri aliran Sungai Sai, terus masuk sungai ketungau, dan menetap disana di sepanjang sungai ketungau dan membentuk kelompok-kelompok kecil diantaranya: Bugao, Banyur, Tabun dll.
  3. Kelompok Mualang. Kelompok ini adalah kelompok yang bertahan terakhir di Tampun Juah, hal ini karena pada waktu itu kelompok ini ada pantangan pergi karena ada salah seorang yang melahirkan, setelah sekian lama kemudian kelompok ini menyusul kelompok keduanya dengan menyusuri Sungai Sai, sampai di muara sungai ketungau. Kelompok ini di pimpin oleh: Guyau Temenggung Budi, mereka membawa seorang pengawal / manok sabung / Letnan yang terkenal di zamannya bernama Mualang. Dalam perjalanannya menyusuri sungai ketungau, rombongan Guyau Temenggung Budi tersesat, hal ini dikarenakan adanya banjir yang menyebabkan tanda ( lujok ) yang dibuat pendahulunya berubah arah di terpa arus banjir, setelah sampai dimuara sungai ketungau. Hal ini menyebabkan mereka menghentikan perjalanannya untuk sekian lama. Sejalan dengan itu pengawal rombongan ( manok sabung ) bernama; Mualang meninggal dunia ditempat itu, Rata Penuhia dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang diabadikan untuk menyebut nama anak sungai tersebut menjadi sungai Mualang dan rombongan Guyau temenggung budi mengabadikan nama kelompok yang dipimpinnya tersebut dengan nama Orang Mualang, yang berasal dari sungai Mualang dan lambat laun oleh penerusnya disebut dengan nama Dayak Mualang.4 Setelah berkabung, mereka memutuskan menetap di sungai Mualang untuk beberapa lama. Suatu hari ketika sedang mencari ikan menyusuri sungai Mualang, mereka menemukan sebuah lubuk ( teluk yang dalam ) yang banyak ikannya, kemudian berita gembira ini disampaikan ke segenap kelompok orang Mualang lainnya dan akhirnya mereka beramai – ramai mengambil ikan dilubuk tersebut.Setelah mendapatkan ikan yang banyak, segala dayung dan peralatan cari ikan lainnya mereka tenggelamkan dilubuk itu, dan lubuk itu mereka sebut dengan nama lubuk Sedayung. Selain mencari ikan mereka juga kerap kali berburu disekitar hutan sampai jauh masuk ke segala arah. Pada suatu ketika disaat sedang berburu, mereka (orang Mualang), menemukan pemburu lainnya yang mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang, tetapi bukan dari rombongan maupun komunitas mereka. Orang tersebut mengaku berasal dari Tanah Tabo.” Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang Mualang, yakni; Guyau temenggung Budi yang akhirnya membawa seluruh orang – orang Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat di Tanah Tabo”. Hingga dibatalkanlah rencana untuk mencari rombongan terdahulunya.

Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

ADAT ISTIADAT TAMPUN JUAH

Pada masa itu kehidupan di Tampun Juah diatur sesuai dengan norma –norma dan adat istiadat menyangkut kehidupan, peradaban kearah yang lebih baik hingga berkembang menjadi bangsa yang besar, kuat dan makmur. Demikian juga aturan tersebut berlaku sesama masyarakat tampun juah dan masyarakat diluarnya. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat Tampun Juah semakin maju dan dikenal hingga datanglah masyarakat dari berbagai kelompok lain yang bergabung dan berlindung serta mencari kehidupan yang lebih baik di Tampun Juah. Kejayaan dan kemakmuran di Tampun Juah, telah didengar oleh para penguasa di zaman itu, hal ini menyebabkan penguasa lain diluarnya menjadi sangat iri dan berusaha untuk merebut kejayaan di Tampun Juah.


Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

KEHIDUPAN RITUAL

Selain itu, kehidupan Tampun juah juga erat hubungannya dengan kehidupan ritual dan keagamaan. Pemimpin spiritual tersebut adalah sepasang suami istri yang bernama Ambun menurun ( laki-laki ) dan Pukat Mengawang ( perempuan). Kedua orang tersebut merupakan symbol terciptanya manusia pertama ke dunia, sesuai dengan arti dari nama keduanya. Ambun menurun yaitu embun yang turun ke bumi, symbol seorang laki–laki dan pukat mengawan adalah celah–celah dari jala/pukat yang membentang, symbol wanita. Embun tersebut menerobos atau menembus celah pukat merupakan symbol hubungan intim antara pria dan wanita. Pasangan suami istri tersebut, mempunyai sepuluh orang anak yakni, Tujuh orang laki–laki dan tiga orang perempuan.

  1. Puyang Gana ( Roh Bumi / Penguasa tanah, meninggal sewaktu lahir )
  2. Puyang Belawan
  3. Dara Genuk ( perempuan )
  4. Bejid manai
  5. Belang patung
  6. Belang pinggang
  7. Belang bau
  8. Dara kanta” ( perempuan )
  9. Putong Kempat ( perempuan )
  10. Bui Nasi ( awal mula adanya nasi)
  • Puyang Gana lahir tidak seperti kelahiran manusia normal, ia mempunyai kaki satu, tangan satu dan lahir dalam keadaan meninggal. Karena mempunyai tubuh yang tidak lazim atau jelek, ia diberi nama Gana, ia di kubur dibawah tangga. Ketika ada pembagian warisan ia datang dalam rupa yang menyeramkan (hantu) dan meminta bagiannya hingga karna suatu alasan maka ia mengklaim dirinya sebagai penguasa seluruh tanah dan hutan.( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.184 – 188 ).
  • Puyang Belawan lahir secara normal seperti manusia biasa.
  • Dara Genuk lahir kerdil atau mempunyai tangan dan kaki yang pendek, oleh sebab itu ia di sebut Dara genuk.
  • Bejid Manai lahir dan mempunyai sedikit kelainan pada bagian tubuhnya, yakni kemaluannya besar. Oleh sebab itulah ia disebut Bejid Manai.
  • Belang Patung lahir dan mempunyai kelainan pada setiap ruas tulangnya yang belang–belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Patung.
  • Belang Pinggang lahir dan mempunyai pinggang yang belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Pinggang.
  • Belang Bau lahir dalam keadaan belang dan tubuhnya bau, oleh sebab itu ia disebut Belang Bau.
  • Dara Kanta” lahir normal tetapi mempunyai Cala ( tanda hitam ) dipipinya, oleh sebab itu ia disebut Dara Kanta”.
  • Putong Kempat lahir dalam keadaan normal dan ia mempunyai tubuh yang indah dan kecantikannya luar biasa tak terbayangkan, Upa Deatuh / upa dadjangka” oleh sebab itu ia disebut Putong Kempat.
  • Bui Nasi lahir dalam keadaan aneh, karena lansung dapat bicara dan merengek minta nasi dan kelahiran inilah awal mula orang Pangau Banyau makan Nasi.2. ( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.185). Menyebabkan ayah dan Ibunya memohon kepada Petara untuk mengubahnya menjadi bibit padi.

Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

TEMENGGUNG

Selain membagi tiga tingkat penggolongan masyarakatnya, penduduk Tampun Juah juga mengatur kehidupan mereka dengan membentuk pemimpin – pemimpin di setiap rumah panjang / kampung yang disebut Temenggung, tugasnya mengatur kehidupan kearah yang teratur dan lebih baik.

PENGGOLONGAN MASYARAKAT

Kehidupan di Tampun Juah terbagi dalam tiga Statifikasi atau penggolongan masyarakat, yakni:

  • Bangsa Masuka / Suka (kaum kaya/purih raja), seseorang yang hidupnya berkecukupan atau kaya dan termasuk kerabat orang penting / purih Raja
  • Bangsa Meluar (kaum bebas/masyarakat biasa), seorang yang hidupnya menengah kebawah, tidak terikat masalah hutang piutang dengan orang lain, atau bebas
  • Bangsa Melawang (kaum Miskin/masyarakat biasa), kelompok orang yang hidupnya miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar segala hutangnya sampai lunas dan tak mempunyai kewajiban hutang lainnya
Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

TAMPUN JUAH

'Tampun Juah' merupakan tempat pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic group. Sebelum di Tampun Juah masyarakat Pangau Banyau hidup di daerah bukit kujau’ dan bukit Ayau, sekarang termasuk di wilayah Kecamatan batang lupar daerah Kapuas Hulu, kemudian pindah ke Air berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun Juah, dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada yang berpisah dan membentuk suku atau kelompok lainnya. Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai zaman Eksistensi / keemasan, dalam tiga puluh buah Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis.

Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai.

Kesalahan tersebut dikarenakan keduanya terlibat dalam perkawian terlarang (mali) hubungan dengan sepupu sekali (mandal). Laki-laki bernama Juah dan perempuan bernama Lemay. Eksekusi dilakukan oleh seorang yang bernama lujun (algojo / tukang eksekusi) pada Ketemenggungan Guntur bedendam Lam Sepagi/Jempa.


Source: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

URANG PANGAU

Di masa lalu masyarakat yang kini disebut Mualang ini hidup dan bergabung dengan kelompok serumpun Iban lainnya dan masa itu mereka tergabung sebagai masyarakat Pangau Banyau serta disebut Urang Panggau/Orang Menua artinya orang yang berasal dari tanah ini (Borneo).

Source: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

LEGENDA

Sekitar 2.000 tahun lalu, kehidupan masyarakat Mualang sangat terkait dengan legenda asal usul mereka dari sebuah tempat atau wilayah yang disebut Temawai/Temawang Tampun Juah, yakni sebuah wilayah yang subur di hulu sungai Sekayam kabupaten Sanggau Kapuas, tepatnya di hulu kampung Segomun, Kecamatan Noyan.

24 Juni, 2009

BAHASA

Bahasa yang digunakan miri bahasa Iban, Kantuk dan kelompok Ibanic lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan kalimat dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan kata i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, kemudian inai dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan huruf r, serta logat pengucapannya.

CIRI FISIK

Salah satu ciri yang tampak pada orang Mualang adalah ciri fisik yang mongoloid, wajah bulat, kulit putih/kuning langsat, mata agak sipit, rambut lurus, ada juga yang ikal serta relatif tidak tinggi.

PEMBAGIAN CIRI TARI DAYAK

BERDASARKAN WILAYAH PENYEBARANNYA DI KALIMANTAN BARAT

Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 5 besar yakni:

  1. Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.
  2. Ribunic / Jangkang Grop : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas,
  3. Dayak Mali, Tobakng Benua sampai Balai Bekuak Kabupaten Ketapang dan sekitarnya.
  4. Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam.
  5. Tamanic Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.


Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak di Kabupaten Ketapang, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.

Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: Linoh, Nyangai, Ot Danum ( masuk kelompok kal-teng), Leboyan dsb.

LATAR BELAKANG SEJARAH

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.

Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.

Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.

Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.

Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.

masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.

adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.

Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.